VOX POPULI VOX DEI SUARA RAKYAT ADALAH SUARA TUHAN

“Vox Populi Vox Dei.” Suara Rakyat adalah Suara Tuhan, suatu pernyataan yang cukup populer di masa pencerahan (renaesance), ketika rakyat mulai berani menggugat hegemoni penguasa absolut. Pada saat itu, slogan perlawanan ini memang cukup mengena. Sebab yang dihadapi adalah penguasa otoriter yang menyamakan dirinya dengan Tuhan, atau merasa mendapat hak istimewa dari Tuhan untuk menguasai segenap aspek kehidupan manusia.

Dalam perkembangannya, semboyan tersebut, menjadi pupuk perangsang tumbuhnya ide-ide demokrasi atau paham kedaulatan rakyat. Dewasa ini, kalimat dengan empat kata itu, juga masih kerap terdengar nyaring. Maklum, hingga saat ini, demokrasi masih dianggap konsep terbaik penyelenggaraan kekuasaan negara, dan hampir sebagian besar negara di dunia menyatakan dirinya sebagai negara demokrasi.

Rakyat sebagai pemilik kedaulatan pun naik daun. Aspirasi dan keinginan rakyat menjadi amat bertuah, sehingga jadi obyek buruan para pihak yang berambisi menguasai negara. Dengan dalih “vox populi vox dei,” suara rakyat pun disakralkan karena ia dipahami seakan-akan identik dengan firman Allah. Apalagi ditilik dari perspektif teologis, rakyat dalam terminologi politik merupakan kumpulan manusia, dan makhluk yang disebut manusia senantiasa berada pada kedudukan yang mulia karena diciptakan berdasarkan Citra Allah (Imago Dei) atau pengemban amanat Allah di muka bumi (Khalifatullah). Baca juga Kelebihan-dan-kekurangan-komunisme

Berbagai deviasi dan distorsi makna kedaulatan rakyat pun muncul karena pada tataran praksis apa yang disebut “suara rakyat,” ternyata tidak lahir karena tuntunan akal sehat, ketulusan hati, kemurnian nurani, serta pertanggungjawaban kepada Sang Illahi, tapi karena gelimang selingkuh politik uang, kekerasan intimidasi, kelihaian pembohongan, atau nafsu memangsa manusia lain atas dorongan naluri “homo homini lupus.” Mencari makna hakiki vox populi vox dei dalam ruang realitas kehidupan cenderung semakin sulit karena dalam konteks kekuasaan negara ia hanya tercermin dalam bentuk tumpukan angka yang kemudian diperhadapkan dalam konfigurasi mayoritas dan minoritas.

Lantas, jika “suara mayoritas” dikukuhkan menjadi “vox dei,” lalu suara minoritas suara siapa ?. Demikian pertanyaan menggumpal dalam benak awam yang selalu dituntut agar setia kepada rumus-rumus matematika demokrasi. Pada titik inilah, alur logika kerap menemui tonggak kebuntuan, sehingga fokus pertanyaan kembali pada titik awal yakni, hakekat dari makhluk yang disebut “rakyat” itu sendiri.

Bila berpangkal tolak pada terminologi politik bahwa rakyat adalah kumpulan manusia, maka tentu arah sorotan pun pada akhirnya tertuju kepada manusia. Dengan kata lain, apakah jatidiri manusia sebagai imago dei adalah identifikasi yang bersifat permanen, atau sewaktu-waktu dapat berubah menjadi sosok kebalikannya.
Perdebatan panjang tentu tak terhindarkan karena dengan pendekatan biologis saja, pasti sulit membongkar anatomi kesejatian manusia yang penuh misteri. Karena itu –setelah melewati pergumulan pikiran yang intens– berbagai pakar akhirnya menyimpulkan bahwa: Manusia adalah makhluk tiga dimensi. Ia terdiri dari dimensi jasmani, atau disebut fisik, atau ragawi dimensi jiwa atau spirit atau rohani, dan terakhir yang menjadi inti kesejatian manusia adalah dimensi nurani, yang sejatinya adalah tempat bersemayam “Roh Allah” atau “Nur Illahi (Terang Allah).”

Eksistensi manusia sebagai makhluk tridimensi, sebenarnya dengan jelas dan gamblang dijelaskan dalam Al-Kitab. Bahkan dalam Roma 8 ayat 1-30, ditegaskan keharusan bagi manusia memelihara kesejatian dirinya sebagai imago dei yang hidup dalam tuntutan “Terang Allah” atau “Roh Penghibur.”

Pemahaman akan makna hakiki manusia dalam tiga dimensi tersebut tentu perlu, agar manusia dalam kehidupannya selalu sadar akan keberadaannya sebagai “Bait Allah” yang harus dijaga kesuciannya. Selain itu, dengan kesadaran itu pula manusia niscaya dapat memahami akar dari berbagai penyebab distorsi, dan deviasi dalam kehidupan keseharian.

Bila manusia dalam dimensi jasmani kerap terganggu kesehatannya karena cacat jasmani atau karena mengidap sakit jasmani, maka manusia dalam dimensi rohani dan nurani pun bisa mengalami hal yang sama. Cacat atau sakit rohani dan nurani inilah yang kerap mewabah di luar kesadaran manusia itu sendiri. Bahkan dapat berjangkit secara kolektif pada satu komunitas masyarakat dan bangsa.

Boleh jadi karena sakit rohani dan nurani itulah, terjadi anomali dalam formulasi dari “suara rakyat, suara Tuhan,” sehingga hasil yang diperoleh justru kebalikannya. Sebagai bangsa, Indonesia bukan sekali dua kali mengalami hal ini. Adalah kenyataan, sudah beberapa kali Indonesia menyelenggarakan Pemilihan Umum untuk memberikan tempat terhormat bagi “suara rakyat (karena dianggap identik dengan “suara Tuhan”),” namun setiap kali itu pula yang muncul dipermukaan justru para koruptor, pelanggar hak asasi manusia, pencoleng uang rakyat, dan sebagainya.

Dalam keadaan seperti ini, maka makna “vox populi vox dei” layak untuk dipertanyakan. Mungkin saja, slogan yang terdengar amat mulia ini tinggal pepesan kosong, karena rakyat yang didengar suaranya itu lebih dalam jumlah dominan adalah mereka yang mengidap cacat rohani dan kekelaman nurani. Dan jika demikian halnya, maka satu-satunya cara pemulihannya adalah kembali ke jalan Allah, agar Roh Kudus, Terang Dunia, Cahaya Illahi kembali bersemayam dalam diri manusia Indonesia. Al Kitab telah memberikan kesaksian bagi kita, bahwa dengan Yesus Anak Allah dengan mudah menyembuhkan penyakit jasmani dan rohani manusia (Matius Pasal 8 dan 9), dan kuasa Roh Kudus dapat mengubah kekelaman nurani Saulus yang dengan nama Paulus ia bertobat, bahkan mengabdikan hidupnya bagi pewartaan Injil keberbagai pelosok.

Tentu hanya mereka yang memiliki kesehatan jasmani, rohani dan nurani yang dapat menyatakan “vox populi, vox dei, ” mereka yang dapat menyatakan suaranya sesuai hati nuraninya, tak tergiur oleh iming-iming politik uang, tak goyah menghadapi intimidasi dan tekanan, karena ia yakin Allah senantiasa bersamanya dalam segala hal. Jika benar Suara Rakyat adalah Suara Tuhan, lalu buat apa Tuhan mengutus Nabi-Nabi untuk menyuarakan Pesan Illahi. Haji-abdul-hamid-wali-allah-al-banjari

Related Posts



Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?
Link

Komentar

SUARA KOTA PONTIANAK

ENTER YOUR EMAIL ADDRESS :

DELIVERED BY SUARA KOTA PONTIANAK ||| 🔔E-mail : ptmkspontianak@gmail.com

🚀POPULAR POST

SYAIKH SITI JENAR : AL-FATIHAH SALAH SATU KUNCI NGIBADAH

CARA MEMBANGKITKAN NUR QALBU MELALUI ZIKIR NAFI DAN ISBAT BAGI FOMULA TASYAWUF

TUHAN TIDAK BERZAT, BERSIFAT, BERASMA, DAN BERAF'AL.

PUSAKA MADINAH

AL HALLAJ IBLIS ADALAH TEMAN DAN FIRAUN ADALAH GURUNYA

🔂 FOLLOWERS