PEMAHAMAN YANG BENAR TENTANG WAHDATUL WUJUD MENURUT KAUM SUFI

Di sini, saya coba menyentuh secara khusus berkaitan dengan masalah Wahdatul - wujud, secara adil dengan merujuk kitab-kitab para ulama', dalam mengurai kesalahpahaman tentang masalah ini.

Pembahasan mengenai "Wahdatul-wujud" ini, ada dua golongan yang memahaminya secara berbeda yaitu:

PERTAMA : Pemahaman yang Salah Tentang Wahdatul-Wujud:

Golongan yang memahami "Wahdatul-wujud" dengan makna : Allah dan makhluk adalah satu (manunggal). yaitu, makhluk bersatu dengan Allah. Mereka memahami Wahdatul-wujud sebagai ma’na hulul (Allah bergabung dalam makhluk) dan ittihad (Allah dan makhluk adalah menyatu zatNya).

Hasil dari kesalahpahaman berkenaan Wahdatul wujud ini, melahirkan dua golongan:

a) Golongan yang menentang, lalu menghukum sesat orang-orang yang berpegang dengan Wahdatul-wujud. Para teolog, khususnya Ibnu Taymiyah dan ulama yang sepaham tentu mengkafirkan Al-Hallaj, dan termasuk juga mengkafirkan Ibnu Araby, dengan tuduhan keduanya adalah penganut Wahdatul Wujud atau pantheisme. Padahal dalam seluruh pandangan Al-Hallaj dan para sufi lainnya, tak satu pun kata atau kalimat yang menggunakan Wahdatul-Wujud dengan makna kesatuan wujud antara hamba dengan Khaliq. Wahdatul Wujud dengan makna pantheisme hanyalah penafsiran keliru secara filosofis atas wacana-wacana Al-Hallaj, Ibnu Araby, Syekh Siti Jenar dan para sufi lainnya. Yang benar adalah Wahdatul Wujud dengan makna Wahdatusy Syuhud (Kesatuan Penyaksian). Sebab yang manunggal itu adalah penyaksiannya, bukan ZatNya dengan zat makhluk.

Golongan ini benar dari satu sudut pandang, tetapi salah dari sudut pandang yang lain. Mereka benar dari sudut pandang karena menolak Wahdatul-wujud dengan makna hulul dan ittihad , karena hulul dan ittihad adalah kesesatan yang nyata. Namun, mereka salah dari sudut memvonis sesat seluruh golongan  yang berpegang pada Wahdatul-wujud , karena mayoritas para sufi dan ahli tasawwuf, yang membicarakan tentang Wahdatul-wujud, tidak memahaminya dengan pemahaman yang keliru, yaitu dengan makna hulul dan ittihad.

b) Golongan yang berpegang pada Wahdatul- wujud dengan makna hulul dan ittihad, lalu mereka ini memproklamirkan ketuhanan pada diri mereka sendiri dengan mengaku tuhan dan sebagainya. Mereka adalah golongan yang sesat lagi menyesatkan. Mereka lebih suka disebut sebagai golongan hakikat (ciri-ciri mereka adalah tidak mau menempuh syariat, seperti menjalankan sholat hanya dengan niat semata, tanpa melakukan gerakan sholat, berdiri, ruku’, sujud dst). 

Dan sejatinya, golongan sufi dan ahli tasawwuf, yang bersandarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah, sangat menentang golongan ini. Di Jawa sendiri  pemahaman seperti ini diadopsi oleh golongan yang menisbatkan dirinya kepada pengikut Syekh Siti Jenar dengan ajarannya “Manunggaling Kawulo Gusti”, peng-esaan mereka benar-benar meyakini Wahdatul wujud dengan makna hulul/ittihad (manunggal). Padahal Syekh Siti Jenar sendiri berlepas diri dari anggapan seperti itu. Seseorang yang mengambil pemahaman wahdatul wujud bukan dari kaum sufi, maka akan melahirkan kesalahpahaman seperti yang terjadi pada golongan ini.

Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya yang memahami wahdatul wujud dengan makna hulul/ ittihad (manunggal), adalah orang-orang sesat yang tidak tahu makna sebenarnya akan tetapi mereka menisbatkan diri pada  kaum sufi, sementara kaum sufi yang sebenarnya juga menentang pemahaman seperti ini, ikut kena getahnya dan mendapatkan vonis sesat.

KEDUA : Pemahaman yang Benar Tentang Wahdatul-Wujud

Yaitu : Seluruh mahluk yang wujud (lebih tepatnya maujud), pada mulanya tidak wujud (‘adam). Mereka akhirnya wujud karena Allah s.w.t.  mewujudkan mereka. Maka, seluruh makhluk pada hakikatnya wujud dengan sebab  wujudnya Allah s.w.t., karena tanpa wujudnya Allah s.w.t, tanpa izin Allah s.w.t., niscaya tiada satu mahluk pun yang wujud ataupun meneruskan ke-wujud-annya.

Inilah maksud sebenarnya Wahdatul-wujud yang dihayati oleh orang-orang arif dari kalangan para sufi. Mereka menghayati dan merasakan (zauq), ke-wujud-an mereka, bahkan seluruh ke-wujud-an makhluk Allah s.w.t., adalah dari Allah s.w.t., yang telah menciptakan mereka dari tiada menjadi ada, dari tidak wujud (‘adam) menjadi wujud. Jadi, mereka tidak merasakan wujud mereka secara mandiri (mustaqil), tetapi ke-wujud-an mereka  denganNya (dengan kekuasaan dan  izinNya).

Dengan pemahaman ini, tak seorang pun yang berakidah lurus, yang mampu menafikannya. Kalau ada orang yang menafikan Wahdatul- wujud dengan makna seperti ini, maka pada hakikatnya dialah orang yang sesat, karena tak ada yang wujud secara mustaqil (tersendiri), kecuali Allah s.w.t dan hanya Dia saja yang bersifat dengan qiyamuhu binafsihi (berdiri dengan zatNya sendiri) sedangkan seluruh makhluk berdiri dengan Allah s.w.t. (dengan kuasa dan izin Allah s.w.t.).

Orang-orang yang mengingkari bahkan menganggap sesat golongan arif billah / para sufi (seperti Syekh  Ibn 'Arabi, Syekh Al-Jili, Syekh Al-Hallaj, Syekh Siti Jenar dll) yang mengetengahkan Wahdatul-wujud, hanya karena tidak tahu dengan konsep Wahdatul- wujud di sisi para sufi itu sendiri, lalu salah paham dengan memahami Wahdatul-wujud sebagai hulul dan ittihad. Maka, mereka sebenarnya bermain-main dengan khayalan/anggapan mereka sendiri terhadap kaum sufi, padahal kaum sufi berlepas diri dari pengingkaran mereka dan khayalan orang- orang yang mengingkarinya.

#Catatan bagi orang awam dan para pemikir/penulis yang kering dan dangkal tanpa SULUK

Dijelaskan dalam Tuhfatul Ahwadzi bahwa di zaman tersebut, orang yang berpegang teguh dengan agama hingga meninggalkan dunianya, ujian dan kesabarannya begitu berat. Ibaratnya seperti seseorang yang memegang bara (nyala) api. Bara api tentulah panas dan tentu amatlah sulit mempertahankan genggaman tersebut tanpa membuat tangan melepuh.

Ath Thibiy berkata bahwa maknanya adalah sebagaimana seseorang tidak mampu menggenggam bara api karena tangannya bisa terbakar sama halnya dengan orang yang ingin berpegang teguh dengan ajaran Islam saat ini, ia sampai tak kuat ketika ingin berpegang teguh dengan agamanya. Hal itu lantaran banyaknya maksiat di sekelilingnya, pelaku maksiat pun begitu banyak, kefasikan pun semakin tersebar luas, juga iman pun semakin lemah.

Sedangkan Al Qari mengatakan bahwa sebagaimana seseorang tidaklah mungkin menggenggam bara api melainkan dengan memiliki kesabaran yang ekstra dan kesulitan yang luar biasa. Begitu pula dengan orang yang ingin berpegang teguh dengan ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di zaman ini butuh kesabaran yang ekstra.

Itulah gambaran bagi orang-orang yang konsisten dengan ajaran Islam secara kafah saat ini, yang ingin terus menjalankan ibadah sesuai sunnah Rasul , begitu sulitnya dan begitu beratnya.

Acapkali bagi masyarakat awam, orang-orang yang memegang teguh terhadap ajaran ajaran Islam sejati adalah orang-orang yang fanatik. Kadang cacian yang mesti diterima. Kadang dikucilkan oleh masyarakat sekitar. Kadang jadi bahan omongan yang tidak enak. Bahkan parahnya sampai-sampai ada yang nyawanya dan keluarganya terancam. 

Melawan arus, dimana kita mencoba menjadi orang baik disaat menjadi salah adalah sesuatu yang wajar, tentu mendapat konsekuen yang tidak mengenakkan dalam kehidupan bermasyarakat. Demikianlah resikonya.

Namun nantikan balasannya di sisi Allah SWT  yang luar biasa andai mau bersabar.
Ingatlah janji Allah SWT,

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az Zumar: 10).

Sebagaimana disebut dalam Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim karya Ibnu Katsir, Al Auza’i menyatakan bahwa pahala mereka tak bisa ditimbang dan tak bisa ditakar. Itulah karena saking banyaknya. Ibnu Juraij menyatakan bahwa pahala mereka tak bisa terhitung (tak terhingga), juga ditambah setelah itu. Inilah masa dimana orang-orang yang berpegang teguh dalam Islam bagai memegang bara api.

Berpegang teguh dengan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat ini memang amat berat, bagai mereka yang memegang bara api.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَأْتِى عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ الصَّابِرُ فِيهِمْ عَلَى دِينِهِ كَالْقَابِضِ عَلَى الْجَمْرِ
“Akan datang kepada manusia suatu zaman, orang yang berpegang teguh pada agamanya seperti orang yang menggenggam bara api.” (HR. Tirmidzi no. 2260. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan). Baca Juga : Hakikat-wahdatul-wujud-kesadaran

Related Posts



Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?
Link

Komentar

SUARA KOTA PONTIANAK

ENTER YOUR EMAIL ADDRESS :

DELIVERED BY SUARA KOTA PONTIANAK ||| 🔔E-mail : ptmkspontianak@gmail.com

🚀POPULAR POST

SYAIKH SITI JENAR : AL-FATIHAH SALAH SATU KUNCI NGIBADAH

CARA MEMBANGKITKAN NUR QALBU MELALUI ZIKIR NAFI DAN ISBAT BAGI FOMULA TASYAWUF

TUHAN TIDAK BERZAT, BERSIFAT, BERASMA, DAN BERAF'AL.

PUSAKA MADINAH

AL HALLAJ IBLIS ADALAH TEMAN DAN FIRAUN ADALAH GURUNYA

🔂 FOLLOWERS