FUTUHAT AL MAKIYYAH DAN FUSHUS AL HIKAM OLEH IBN 'ARABI

Pemikiran Ketuhanan Ibn ‘Arabi merupakan salah satu di antara sekian banyak varian pemikiran yang hidup dalam tradisi mistik Islam. Pandangan Ketuhanannya dikenal rumit dan sangat elitis. Dalam mengartikulasikan pemikiran mistisnya yang tertuang dalam dua magnum opus-nya Futuhat al-Makiyyah dan Fushus al-Hikam,

ia cenderung memadukan kemampuan nalar dan kedalaman dzauqiyah, sehingga tidak semua orang bisa menjangkau ungkapan-ungkapan metaforisnya. Pemikiran Ketuhanan Ibn ‘Arabi sering dikaitkan dengan istilah Wihdat al-Wujud. Dalam konteks ini pada dasarnya ia mencoba menyeimbangkan pemahaman antara imanensi (tasybih) dan transendensi (tanzih).
Pendahuluan
Di antara sekian banyak pemikiran filsafat mistik (tasawuf falsafi) dalam Islam, pemikiran Ibn ‘Arabi merupakan salah satu model yang unik karena kepiawaiannya memformulasikan pengalaman mistisnya ke dalam bahasa filsafat, atau juga merupakan pemaduan unsur-unsur mistis ke dalam filsafat, sehingga filsafat yang disajikan tidak murni rasional, tetapi sudah dilengkapi dzauqiyyah (intuitif).
Keunikan lain dari pemikiran Ibn ‘Arabi, karena tidak kurang hebatnya dalam mengundang kontroversi di kalangan pemikir keagamaan (Islam) lainnya. Pemikiran Ibn ‘Arabi yang banyak mendapat perhatian adalah tentang Wihdat al-Wujud (Kesatuan Wujud).
Bertitik tolak dari pemikiran Ibn’Arabi tentang Wihdat al-Wujud, Ibn ‘Arabi mengembangkan pemikiran ketuhanannya lewat kreasi intelektual serta kedalaman penghayatan mistisnya, hal ini tentunya sangat berbeda dengan model pemikiran yang dikembangkan oleh para teolog muslim (sunni) yang lebih cenderung memahami Tuhan lewat proses dialektis yang bersandar pada nash-nash al-Qur’an serta diperkuat oleh argumen-argumen yang bersifat rasional.
Pemikiran ketuhanan yang bercorak teologis kadang-kadang bersifat apologetis jika dilihat dari cara pandang masing-masing alirannya, serta lebih menekankan truth claim berdasarkan kekuatan argumen dan berbagai kepentingan yang tersembunyi dibalik selubung nama kelompok atau golongan. Kadang-kadang pemikiran model teologis dianggap kering karena lebih menekankan transendensi Tuhan, sehingga manusia yang mengandalkan model rasional ansich tidak menyadari akan fungsi batinnya dalam memahami Yang Batin.
Inilah yang membedakan pemikiran model teolog rasional dengan para filsuf mistis, khususnya seperti Ibn ‘Arabi yang mencoba memahami Tuhan sebagai yang imanen di samping yang transenden. Melalui pendekatan imanensi, Tuhan tidak hanya berada pada wilayah perbincangan, tetapi diresapkan pada tataran spritualitas manusia. Tuhan dipahami sebagai Yang Hadir dalam batin manusia.

Ibn ‘Arabi dalam Tradisi Mistis Islam
Tak disangsikan lagi Ibn ‘Arabi merupakan salah satu puncak kecemerlangan dalam bidang filsafat mistis pada zamanya dan pengaruhnya terus mengalir dari waktu ke waktu. Ia dilahirkan di Andalus, Murcia (Mursia) Spanyol pada tahun 1165 M. Nama lengkapnya adalah Muhammad Ibn ‘Ali Ibn Muhammad Ibn al-‘Arabi al-Tha’i al-Hatimi. Ketika berusia delapan tahun, ia ikut diboyong keluarganya pindah ke Lisbon dan kemudian ke Seville. Di sanalah ia mulai mengecap pendidikan serta memperdalam ilmu pengetahuan keislaman dari berbagai cabang dengan para ulama ataupun para sufi.
Selama di Seville, pada masa berikutnya Ibn ‘Arabi menduduki jabatan sebagai Sekretaris Gubernur Seville, hal ini tak terlepas dari kecemerlangan prestasi pendidikannya. Kemudian ia menikah dengan seorang wanita shaleh yang bernama Maryam. Selama di Seville ia didampingi isterinya, termasuk dalam perlawatannya ke berbagai daerah di Spanyol ataupun Afrika Utara. Dalam masa perlawatannya itulah ia banyak berjumpa dengan guru-guru sufi, dari perjumpaan itu paling tidak mempercepat proses Ibn ‘Arabi untuk menggeluti dunia sufi sejak usia dua puluh tahun, hingga pada akhirnya ia lebih memilih jalur sufi dan sekaligus menghantarkannya menjadi seorang sufi besar.
Ibn ‘Arabi tidak hanya sebagai seorang sufi besar tetapi sekaligus sebagai seorang filsuf mistis. Penguasaan ilmunya melampaui bidang mistis, ia juga menguasai filsafat peripatetik serta merupakan salah satu guru pada bidang tersebut. Dan latar belakang penguasaan disiplin ilmu yang luas (antara mistis dan filsafat), Ibn ‘Arabi mampu memformulasikan pandangan-pandangannya yang bercorak mistis dengan bahasa, filsafat, dengan kata lain pengalaman-pengalaman mistis yang bersifat batini itu telah difilsafatkan dan menjadi sebuah pandangan metafisis yang khas. Itulah yang lebih terkenal dengan sebutan Wihdat al-Wujud.
Metode dan Pendekatan Mistis Ibn ‘Arabi
Secara umum, para mistikus memiliki pengalaman yang sama pada tataran batin, meskipun tidak pada tingkat kedalaman yang persis sama. Pengalaman batin para mistikus adalah suatu peristiwa yang melampaui pengalaman manusia biasa, karena obyek yang dijumpai dalam wilayah batin adalah sesuatu yang sama sekali berbeda dengan obyek yang sudah dikenali di dunia nyata. Di sinilah kadang-kadang peran bahasa mengalami kemacetan karena tidak mampu menyatakan apa yang telah terserap dalam wilayah batin.
Pengalaman batin para mistikus kadang-kadang dianggap berlawanan dengan apa yang sudah menjadi kebiasaan atau apa yang merupakan sebuah kewajaran dalam pandangan umum, hal yang sering mengundang kontroversi dari para mistikus ini adalah syatahat-syatahat yang keluar pada saat mereka mengalami ekstase mistis.
Umumnya syatahat itu keluar pada saat keadaan batin si mistikus sedang mengalami puncaknya, yaitu dalam tahap menyatu dengan Tuhan, sehingga tidak lagi berada dalam tingkat kesadaran biasa, tetapi merupakan kesadaran supra-manusiawi, dimana kesadaran manusia terserap ke dalam kesadaran ketuhanan.
Problem yang dialami oleh para mistikus ketika kesadaran mereka tidak berada pada level manusiawi adalah ketidakmampuan memformulasikan pengalaman terdalam yang disebabkan keterbatasan sarana pengungkapan, sehingga ungkapan-ungkapan yang lahir dari pengalaman mistis menjadi tidak bermakna dan dianggap menyesatkan bagi kalangan awam.
Kendala utama dalam memformulasikan pengalaman mistis, kemungkinan bisa juga disebabkan tidak bekerjanya nalar secara seimbang dalam memahami pengalaman hasil penerapan batin, untuk itulah Ibn ‘Arabi mencoba memadukan pendekatan mistis dan filsafat dengan harapan bisa menerjemahkan bahasa batin dalam mengungkapkan Tuhan, meskipun hal itu tak kurang rumitnya serta mengandung kontroversi.
Pendekatan yang digunakan untuk memahami pengalaman mistis (khususnya dalam konteks kebersatuan dengan Tuhan) tergantung pada jenis pengetahuannya. Menurut William Chittick, Ibn ‘Arabi membagi dua macam dasar pengetahuan yaitu, pengetahuan yang diperoleh melalui kemampuan rasional, sedangkan pengetahuan yang lainnya adalah diperoleh melalui praktek spritual, yang biasanya disebut gnosis (ma’rifah). Jenis pengetahuan yang kedua ini bisa juga disebut pengetahuan dengan penyingkapan (Kasyf), atau juga dekat dengan istilah-istilah seperti dzauq, fath, basyirah, shuhud dan musyahadah.
Pendekatan yang diperkenalkan oleh Ibn ‘Arabi tidak jauh berbeda dengan pendekatan para mistikus sebelumnya, yaitu sama-sama menekankan pendekatan kasyfi, hanya saja yang membedakan Ibn ‘Arabi dengan para mistikus lainnya adalah ia mampu memanfaatkan basic filsafatnya untuk menjabarkan pengalaman mistisnya, sehingga apa yang mungkin untuk dideskripsikan sejauh itu bisa dipahami dan ditangkap maknanya oleh pikiran.
Upaya mendeskripsikan pengalaman mistis bukanlah hal yang mudah tanpa bantuan nalar aktif, tidak mengherankan jika aliran teosofi Ibn ‘Arabi selalu berusaha untuk menghidupkan daya imajinasi dalam menggambarkan pengalaman mistis, khususnya tentang Tuhan dalam pengertian yang secara simultan mengarah pada transendensi dan imanensi-Nya. Meskipun upaya penggambaran itu dilakukan secara samar-samar, akan tetapi paling tidak, bisa memberitahukan kepada kita tentang adanya perwujudan Ilahi yang menyelubungi esensi-Nya. Pendekatan bergaya mistis yang dilakukan Ibn ‘Arabi tidak lain merupakan bentuk pemindahan “gambaran” ketuhanan dalam visi batin (penyaksian) sebagai salah satu cara untuk mendekatkan Tuhan, yang tidak hanya bertumpu pada pemikiran semata, tetapi jauh pada tingkat kedalaman samudera batin yang tiada berhingga.
Menurut Mehdi Ha’iri Yazdi, kecemerlangan Ibn ‘Arabi dalam mentransfer pengalaman batinnya menjadi sebuah kebenaran mistis tidak terlepas dari kepiawaiannya menggunakan metode irfan, yang ia sendiri sebagai pelopornya. Dalam konteks ini Ha’iri Yazdi memahami irfan sebagai ilmu bahasa kesadaran mistis.
Pendekatan irfan yang dikemukakan Ibn ‘Arabi dibedakan dengan metode pengetahuan intelektual biasa, menurut Chittick dalam Futuhat Ibn ‘Arabi, diperkenalkan tiga klarifikasi pendekatan pengetahuan. Pertama, pengetahuan intelektual (‘Ilm al-Aql, The Science of reason). Yaitu diperoleh melalui pendekatan investigatif serta bersifat demonstratif. Pengetahuan jenis ini bisa merujuk pada objek empiris atau objek yang sudah dikenal oleh akal.
Kedua, pengetahuan tentang kesadaran akan keadaan-keadaan batin (The Science of States, Ahwal). Jenis pengetahuan ini lebih menekankan pada kemampuan merasa oleh sebab itulah tidak ada jalan untuk mengkomunikasikan keadaan-keadaan yang sudah melampaui batas-batas nalar selain merasakan sendiri jenis “keadaan-keadaan” tersebut. Sehubungan dengan jenis pengetahuan model yang kedua ini, akal tidak bisa dijadikan acuan untuk membuktikan kebenaran “keadaan-keadaan” dalam penyaksian batin. Secara sederhana dicontohkan seperti rasa manis madu atau pahitnya sari cendana, yang tidak bisa “mengalami” manis dan pahit itu seperti apa, bukan untuk menghadirkan wujud manis dan pahit dalam bentuk kongkritnya yang bersifat bendawi.
Ketiga, pengetahuan tentang yang gaib (Knowledge is The Sciences of The Mysteries. ‘ilm al-asrar), pengetahuan model ini bercorak intelektual transenden, bentuk mengetahui lebih tergantung pada pencerahan yang bersumber dari cahaya Ilahiah atau pancaran ruh suci kedalam pikiran. Pengetahuan model ini hanya ada atau dimiliki oleh mereka yang mencapai maqam tertinggi seperti para Nabi ataupun orang-orang suci.
Jenis pengetahuan model ketiga (‘ilm al-asrar) lebih mendapatkan prioritas dalam pendekatan Ibn ‘Arabi untuk memperoleh pemahaman tentang Tuhan melaui visi batin. Menurut Ha’iri Yazdi pengetahuan intelektual transenden (‘ilm al-asrar) merupakan kebalikan pengetahuan representasional fenomenal yang berlaku bagi objek-objek lahir yang bisa teramati oleh indera manusia. Sedangkan pengetahuan transenden merupakan pengetahuan tentang dunia yang ghaib, yang pada level-level tertentu tak terkatakan, karena nalar dan bahasa tak mampu menjangkau objek-objek batin yang asing bagi pikiran karena terbiasa dengan objek-objek lahir, dengan kata lain objek-objek batin tanpa campur tangan nalar dan bahasa.
Meskipun demikian bukan berarti nalar dan bahasa terkesampingkan dalam upaya berpartisipasi pada wilayah batin, hanya saja bagi Ibn ‘Arabi pendekatan kasyfi lebih diutamakan. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Ha’iri Yazdi tentang peranan akal dalam relasi pandangan mistis Ibn ‘Arabi sebagai berikut:
“Tetapi, akal bisa, dan punya kemampuan untuk, begitu keyakinan Ibn ‘Arabi, mengintrospeksi dan merumuskan kembali pengetahuan ini dan membawanya ke dalam dunia fenomena. Manakala akal telah mengambil langkah ini dengan cermat dan menyusun kembali serta menerjemahkan pengetahuan yang tidak bia diterangkan ke dalam kerangka bentuk pengetahuan secara fenomenal representasional, maka ia akan menjadi pengetahuan intelektual biasa yang, seperti halnya pengetahuan kita yang lain, bersifat konseptual dan biasa dipahami, dan karenanya, bisa dibicarakan dalam bahasa sehari-hari dengan mudah. Karena itu, kemampuan akallah kata Ibn ‘Arabi yang bisa melakukan transisi dari pengetahuan tentang yang gaib ke pengetahuan intekelektual dunia fenomena seperti itu.”
Jelaslah bahwa peranan akal tetap memiliki kedudukan penting dalam rangka menjembatani atau mengkomunikasikan pengalaman di dunia gaib menurut cara pandang yang bisa diterapkan pada realitas empiris. Penggunaan akal dalam konteks ini adalah, berupaya melihat celah-celah mana saja yang penting untuk diterjemahkan dari pengalaman-pengalaman yang diperoleh di dunia gaib ke dalam pernyataan-pernyataan, dengan jalan meminjam berbagai terminologi yang umumnya sudah dikenal. Penerjemahan mistis via akal adalah dalam rangka menciptakan keseimbangan kesadaran yang bersifat relasional antara fakultas intelektual dan ketajaman intuisi, sehingga memungkinkan transeksistensiasi dari pengetahuan mistis melalui kahadiran ke pengetahuan fenomenal melalui representasi.
Rangkaian selanjutnya dalam konteks pendekatan mistis Ibn ‘Arabi adalah menyangkut sarana atau instrumen yang biasa digunakan untuk memperoleh pengetahuan yang bersifat Ilahiah. Pada umumnya dalam tradisi mistis dikenal apa yang disebut sebagai instrumen batin. Menurut Nicholson, kaum sufi membedakan tiga jenis organ sebagai alat komunikasi rohaniah yaitu hati (qalbu), roh (ruh) dan jiwa terdalam (sirr), masing-masing organ itu memiliki fungsinya sendiri-sendiri.
Hati (qalbu) untuk mengetahui Tuhan, roh (ruh) untuk mencintai-Nya, bagian jiwa terdasar (sirr) untuk merenungi-Nya.
Berdasarkan fungsinya, maka hati merupakan instrumen penting untuk mengetahui realitas Ilahiah. Hati dalam pengertian ini bukanlah yang bersifat jasmaniah (yang terdiri dari daging dan darah), walaupun demikian ia memiliki jalinan misterius dengan hati yang melekat pada jasmani manusia.
Sehubungan dengan gambaran tentang hati, menurut Purwadaksi, Ibn ‘Arabi ‘Arabi mengumpamakannya seperti cermin berkilau, dan pada suatu saat bisa berubah kabur, untuk itulah, hati setiap seorang perlu dibersihkan atau disucikan melalui ibadah.
Perumpamaan hati seperti cermin berkilau memiliki kesamaan dengan pendapatnya Al-Ghazali, bahwa layar batin itu seperti kaca yang jernih dan dengan kejernihannya mampu menangkap rahasia-rahasia tersembunyi.
Melalui kejernihan hati itulah tuntunan berupa ilham Tuhan menyertai hamba-Nya. Dalam konteks ini menurut Schimmel, Ibn ‘Arabi menegaskan bahwa dalam menulis masterpiece-nya yang terkenal yaitu, Futuhat al-Makkiyyah, tidak ada sehuruf pun yang tergores selain dalam bimbingan ilham Tuhan.
Pada level batin yang lebih tinggi, hati tidak hanya dapat menerima ilham Tuhan saja, tetapi melalui tingkat kejernihannya sanggup menyaksikan tajalli Tuhan ( Tuhan hadir dalam visi batin ), dimana tabir atau selubung yang menghalangi “pandangan” batin terangkat, tak ada realitas lain selain realitas ketuhanan. Menurut Nurcholish Majid mengungkapkan bahwa ketika realitas alam gaib disingkapkan, semua tampak jalas, tak ada beda antara mata melek dan terpejam, penyaksian tidak lagi tergantung pada mata lahir, inilah yang dinamakan Kasyf.

Pemikiran Ketuhanan Ibn ‘Arabi
1. Wujud
Tuhan dalam filsafat mistis Ibn ‘Arabi adalah Dzat tunggal yang tidak ada sesuatu yang mewujud selain Dzatnya. Dzat Tuhan sebagai satu-satunya yang ada dinamai dengan Wujud. Ia tidak terbagi, dan bersifat mandiri. Wujud juga dikenal sebagai realitas absolut, pada pemahaman lain, wujud dianggap sebagai bentuk kesadaran yang dialami oleh Tuhan sendiri dalam menemukan diri-Nya, lebih tegas istilah wujud dalam konteks pemikiran Ibn ‘Arabi hanya diperuntukkan untuk Tuhan, sesuatu yang lainnya tidak berhak menyandang istilah itu (masiwallah). Namun tidak bisa disangkal, Ibn ‘Arabi tetap menggunakan istilah wujud untuk menyebut yang selain Tuhan, tetapi konteksnya dalam pengertian yang bersifat metaforis (majazi). Perlu diingat penggunaan istilah wujud untuk selain Tuhan bukan berarti melepaskan kepemilikannya dari wujud yang sebenarnya, yaitu Tuhan, dengan ungkapan lain wujud yang ada pada benda-banda merupakan wujud pinjaman dari Tuhan (aksidens). Lebih lanjut, sebutan wujud dibedakan pula dengan adam (ketiadaan), namun istilah adam tidak berlaku bagi Tuhan karena Dia adalah Wujud Hakiki, sedangkan wujud dan adam untuk yang selain Tuhan bersifat nisbi.

2. Dzat
Secara umum istilah dzat digunakan untuk berbagai konteks misalnya untuk menyebut orang ataupun benda, atau juga sebagai esensi atau substansi suatu benda. Dalam kaitannya dengan pemikiran ketuhanan istilah dzat digunakan untuk menyebut “diri” Tuhan, sedangkan wujud merupakan penegasan akan “ada”nya Dzat Tuhan.
Sebagaimana telah disebutkan terdahulu, bahwa keberadaan Tuhan bersifat mandiri, Ia “mengada” dengan Dzat-Nya dan karena Dzat-Nya, sedangkan sesuatu selain diri-Nya (alam semesta) mengada karena sebab diri-Nya. Ia sebagai dzat yang mandiri bebas menentukan diri sendiri, dan dari penentuan diri itu, melahirkan perbedaan-perbedaan dalam Dzat-Nya. Ada beberapa tahapan bagi Tuhan dalam menentukan dan mengatur diri, dan kedua tindakan itu memiliki efek bagi “keberadaan” yang lain. Yang pertama, Dzat mengatur diri-Nya, pada tahapan ini Dzat disebut sebagai Ahadiyyah (Kesatuan mutlak). Kedua, Dzat merenungkan diri dan menyingkapkannya bagi diri-Nya sendiri, maka muncullah perbedaan batin pada Dzat-Nya. Kemudian muncullah gagasan-gagasan tentang sesuatu (tentang dunia) dalam pikiran Tuhan dengan segala bentuk idealnya (al-a’yan al-tsabitah), yaitu gambaran-gambaran buku tentang segala sesuatu sebelum mewujud di dunia. Gambaran-gambaran ideal itu tidaklah menjadi terlepas dari Tuhan, melainkan tunduk dengan Dzat-Nya, tahapan ini dinamakan Wahdah (Ketunggalan). Ketiga Dzat menentukan keberadaan (eksistensialitas) terhadap objek-objek yang menyangkut gambaran ideal dalam pikiranTuhan (al-a’yan al-tsabitah) dengan pengetahuan yang ada pada Dzat-Nya sendiri, tahapan ini dinamakan Wahidiyyah.
Kemudian ada tiga tahapan penentuan lagi yang diajukan dalam konteks pemikiran ketuhan Ibn ‘Arabi yaitu, yang disebut ta’ayyun ruhi, atau penentuan dari Dzat terhadap roh, adalagi yang disebut ta’ayyun mitsali, penentuan Dzat terhadap bentuk simbolis, selanjutnya ada yang disebut ta’ayyun jasadi, penentuan Dzat terhadap jasad.
Bentuk penentuan dari Dzat terhadap diri-Nya, yang kemudian memunculkan sesuatu yang lain, sebagaiman dalam uraian di atas, adalah berupa kehendak Dzat Tunggal untuk menampakkan diri melalui sesuatu yang lain (alam), atau yang disebut dengan tajali.

3. Imanensi dan Transendensi
Membicarakan imanensi dan transendensi Tuhan tidak bisa dipisahkan begitu saja dengan hanya menekankan pada salah satu aspek yang menjadi kecenderungan, apakah itu bersifat individual ataupun aliran.
Harus diakui, bahwa dua aspek ketuhanan (imanen dan transenden) adalah dua kutub yang saling berlawanan (coincidentia oppositorum). Pada satu sisi Tuhan dipahami sebagai Yang Zhahir, atau Yang Tampak, tetapi sekaligus sebagai Yang Bathin, Yang Tersembunyi. Tuhan sebagai Ynag Zhahir memiliki keserupaan (tasybih) dengan yang selain-Nya, tetapi sebagai Yang Bathin menunjukkan ketidakserupaan, ketakterbandingan (tanzih).
Pengertian yang dimaksud dari dua istilah di atas menurut Chittick terkait dengan penampakan Tuhan sejauh bisa diserap, misalnya dalam konteks tasybih, al-Zhahir, Dia sebagai Yang Maha Tampak, memiliki makna bahwa Tuhan memperlihatkan diri-Nya lewat manifestasi nama-nama-Nya, yang merupakan kualitas yang melekat pada wujud-Nya. Sedangkan dalam konteks tanzih, pengertian al-Bathin, Dia Yang Maha Tersembunyi mencerminkan bahwa Tuhan merupakan sesuatu yang tidak terjangkau, berada di luar persepsi dan pemahaman. Penegasan tentang tanzih dalam pemikiran Ibn ‘Arabi disebutkan dalam Futuhat, sebagaimana yang dikutip Nurcholish Madjid, yaitu :
من قال يعلم ان الله خالقه ولم يجركان برهانابان جهلا لايقلم الله ألا الله فانتبهوا
Barangsiapa mengaku ia tahu Allah bergaul dengan diri-Nya, dan ia tidak lari (dari pengakuan itu), maka itu tanda ia tidak tahu apa-apa. Tidak ada yang tahu tentang Allah, kecuali Allah sendiri, maka waspadalah.
Melalui pengertian di atas bisa diambil suatu pengertian, bahwa transendensi Tuhan menegaskan adanya jarak yang tidak terhingga jauhnya antara Dia dengan hamba-Nya, berarti menerangkan adanya demokrasi antara Tuhan dengan hamba-Nya.
Meskipun demikian, konsep imanensi dan transendensi merupakan suatu yang tidak terpisahkan dalam pemikiran Ibn ‘Arabi, walaupun mengandung pertentangan. Bentuk perten-tangan ini bisa dimengerti sejauh untuk menerangkan Tuhan menurut konteksnya.
Menurut Abdul Haq Ansari, pemikiran Ibn ‘Arabi tentang imanensi berfungsi untuk menjelaskan bahwa Tuhan itu sangat dekat sejauh Ia menyatu dengan dunia ataupun dalam ukuran secara mikro menyatu pada manusia. Kemudian aspek transendensi berfungsi menjelaskan bahwa Tuhan bersifat transenden sejauh Ia berbeda dengan dunia. Perbedaan Tuhan dengan sesuatu yang selainnya tergambar dari sifat yang dikandung-Nya seperti Tidak Terbatas, Maha Pencipta, dan sifat-sifat lainnya yang termasuk dalam bagian transenden.

4. Tuhan Bertajalli
Konsep tajalli dianggap memiliki posisi sentral dalam pandangan Ibn ‘Arabi, khususnya dalam membangun doktrin Wihdat al-Wujud, bahkan secara lebih luas keseluruhan filsafat-filsafat Ibn ‘Arabi tak terlepas dari teori tajalli.
Istilah tajalli memiliki beberapa pengertian menurut Chittick kadang-kadang dipahami sebagai self disclosure (penyingkapan diri) ataupun self-manifestation (penampakan diri). Tajalli atau penyingkapan merupakan bentuk imanensi Tuhan, yang dengan cara itu Ia bisa didekati oleh hamba-Nya dan sekaligus Ia sendiri mendekati hamba-Nya.
Tajalli Tuhan dalam pemikiran Ibn ‘Arabi terarah pada dua hal, yaitu alam dan manusia, dalam tajalli-Nya Tuhan sebagai Yang Maha Tunggal menampakkan diri-Nya dalam keanekaragaman, atau dengan istilah lain dikenal dengan Wahdah dan Katsrah.
Mengenai tajalli dalam relasi alam semesta digambarkan sebagai wujud kerinduan Tuhan yang ingin menyaksikan keindahan diri-Nya melalui “cermin” alam semesta, maka bisa dipahami bahwa alam semesta mengada karena ia adalah mazhar Tuhan (tempat penampakan Tuhan). Maksud lain dari penampakan Tuhan melalui penciptaan alam semesta, tidak sekedar ingin melihat citra diri-Nya, tetapi ingin memperlihatkan diri-Nya kepada seluruh ciptaan-Nya, khususnya manusia. Menurut Sachiko Murata Ibn ‘Arabi melengkapi argumennya dengan menggunakan hadits Nabi yaitu:
كنت كنـزا مخفيا فاحببت ان اعرف فخالقت الخلق لكى اعرف.
“Aku adalah Khazanah tersembunyi dan aku ingin diketahui, karena itu, Aku lalu menciptakan makhluk agar aku bisa diketahui.”
Penjelasan lain tentang tajalli diulas pula oleh Schimmel, menurutnya dalam hal ini Ibn ‘Arabi mengembangkan mitos mengenai nama-nama Tuhan yang memancarkan kerinduan serta mencerminkan kesepian-Nya dalam kesunyian. Nama-nama itu bersifat “non-existen”, yaitu belum teraktualisasi dalam “kedalaman” Ilahi.
Pada tingkat aktualitasnya nama-nama yang merindukan eksistensi itu meledak keluar dan dibarengi oleh suatu tindakan, yaitu penghembusan nafas Ilahi. Setelah itu nama-nama itu mewujudkan diri di alam raya, kemudian seluruh makhluk mengalami sentuhan dari Nama rabb-Nya untuk memperoleh eksisntensinya. Lebih lanjut dikemukakan, mengadanya alam semesta atau seluruh ciptaan adalah hasil manifestasi cinta kasih Tuhan terhadap diri-Nya dan selain diri-Nya, dengan kata lain tajalli bisa dipahami sebagai manifestasi hembusan nafas al-Rahman yang menebarkan wangi-wangi kerinduan pada seluruh sendi-sendi raga ciptaan-Nya.


Keseluruhan manifestasi Tuhan dalam segala bentuk ciptaan-Nya adalah “cermin” yang memantulkan ‘gambar”-Nya, dan dari keseluruhan ciptaan-Nya, hanya manusialah yang mampu menjadi “cermin” paling sempurna dalam menerima pantulan “gambar” Tuhan, karena diri manusia mengandung “Shurah” (bentuk) ketuhanan dan dengan sendirinya dalam diri manusia terkandung karakter-karakter ketuhanan. Tajalli Tuhan pada manusia diawali dalam sosok Adam, yang padanya dipancarkan serta diresapkan keseluruhan nama-nama Tuhan. Sedangkan puncak kesempurnaan “cermin” manusia terkandung pada diri Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau yang disebut al-mir’ah al-muhammadiyyah (cermin Muhammad). Oleh sebab itulah Muhammad merupakan gambaran manusia sempurna yang pada dirinya terkandung manifestasi Tuhan paling penuh dan sempurna.
Secara umum manusia adalah himpunan gambaran keseluruhan ciptaan dalam bentuk miniatur yang sekaligus memantulkan kesempurnaan sifat-sifat Ilahiah. Sifat-sifat Ilahiah yang melekat pada manusia adalah bentuk potensial untuk memahami tajalli pada dirinya. Melalui tiupan ruh ilahiah dalam diri manusia, memungkinkan lahirnya energi cinta sebagai bentuk reaksi terhadap kerinduan Tuhan pada ciptaan-Nya, sehingga mewujudkan bentuk aktualnya yaitu, antara al-Haqq dan al-Khalq terjadi kerinduan timbal balik yang mengarah pada penyatuan, sebagaimana menyatunya cahaya dengan matahari. Pada tataran pemahaman seperti ini Ibn ‘Arabi dengan sangat berani menyatakan bahwa al-Khalq itu tidak lain adalah al-Haqq sendiri, tetapi pada saat bersamaan ia menyatakan bahwa al-Khalq itu bukanlah al-Haqq, karena al-Khalq diumpamakan cahaya yang memiliki keragaman warna-warni. Sedangkan sumber cahaya (al-Haqq) hanya memiliki satu warna saja.

Konsep tentang penyatuan dalam pemikiran Ibn ‘Arabi, khususnya Wihdat al-Wujud tampaknya bisa dipahami sebagai puncak dari dua bentuk kerinduan yang ingin kembali bersenyawa. Manusia yang memiliki potensi untuk merindukan serta menyatu dengan sumber kerinduan selalu berhajat pada “penyaksian” Wajah Ilahi dalam penyingkapan (unveling). Untuk sampai pada level itu, manusia harus memulainya dengan memahami diri sendiri agar bisa menangkap manifestasi sifat-sifat Ilahiah dalam cermin kesadarannya, dalam hal ini Ibn ‘Arabi mengemukakan pendapatnya yaitu:

  • Pengenalan manusia tentang dirinya merupakan muqaddimah atas ma’rifahnya terhadap Tuhannya, sesungguhnya ma’rifahnya terhadap Tuhannya merupakan natijah (hasil kesimpulan logis) dari ma’rifahnya terhadap dirinya, sebagaimana sabda Nabi, barangsiapa yang mengenal tentang dirinya, maka sesunguhnya ia mengenal akan Tuhannya.
  • Mengacu pada uraian di atas, jelaslah bahwa untuk sampai kepada Tuhan harus melalui tahapan pengenalan diri, karena mustahil manusia bisa sampai pada tujuan tertingi tanpa melihat pantulan sifat-sifat Tuhan pada cermin dirinya. 
  • Pengenalan diri bisa juga merupakan salah satu cara melepas hijab (tabir) satu dari hal-hal yang bersifat khayali, sehingga ruh bisa menerima pencerahan serta bisa “bertatapan” dengan realitas ketuhanan. Dengan kata lain pengenalan bisa juga merupakan upaya menuju isti’dad (kesiapan) dalam menerima setiap tajalli Tuhan yang tiada berkesudahan.
  • Secara keseluruhan dapat ditarik satu kesimpulan, bahwa inti dari tajalli (penampakan) Tuhan adalah pengungkapan gambaran diri-Nya dalam keanekaan dan munculnya keanekaan adalah refleksi dari Nama-nama yang dimiliki-Nya. Kemudian memilih manusia sebagai majla dan mutajalla yang paling sempurna.

ULASAN
Pemikiran ketuhanan yang bercorak filosofis sekaligus mistis dari Ibn ‘Arabi tidak terlepas dari rangkaian pemikiran masa lalu, secara umum pemikiran filosofis yang bercorak mistis dalam Islam memiliki jalinan yang sangat erat dengan tradisi pemikiran Yunani.
Begitu juga halnya dengan pemikiran Ibn ‘Arabi tak bisa lepas dari pengaruh Neo-Platonisme, sebagaimana diketahui filsafat Neo-Platonisme selalu menghubungkan Tuhan dengan prinsip kesatuan yang menekankan aspek imenensi dan transendensi, kesatuan dan keragaman, dan pada sisi yang lain filsafat Neo-Platonis juga mengandung unsur-unsur religius mistis. Menurut Manzhoor Ahmad, konsep al-A’yan al-tsabitah merupakan pengaruh dari pemikiran Yunani, yang jelas-jelas bercorak platonis.
Selain itu Ibn ‘Arabi tak dapat dipisahkan dari tradisi intelektual Andalus yang sangat kaya dengan berbagai kajian filosofis dan mistis, nama-nama seperti Ibn Bajjah dan Ibn Thufayl merupakan filsuf mistis yang mendahului model pemikiran yang bercorak Neo-Platonis dalam membangun pandangan mistisnya. Sebagai contoh, pada saat Ibn Thufayl berpaling ke disiplin rohani, Ia berkeyakinan bahwa kebenaran tertinggi tidak lagi dicapai lewat proses deduksi dan induksi, tetapi bisa diperoleh secara langsung melalui kemampuan intuitif. Salah satu pandangan Ibn Thufayl yang bercorak mistis adalah tentang adanya Yang satu dan melahirkan Yang Banyak, hal ini diumpamakan seperti cahaya matahari yang menyentuh permukaan cermin, dan dari cermin itu memantulkan cahaya yang beraneka warna, akan tetapi keragaman warna cahaya itu akan lenyap kalau pandangan dialihkan pada sumbernya, yang ada hanyalah satu cahaya.
Model pemikiran Ibn Thufayl yang bercorak mistis itu paling tidak meberikan pengaruh bagi generasi sesudahnya, maka tidak mengherankan jika Ibn ‘Arabi memiliki kesamaan pendekatan dalam mengkostruksikan pengalaman mistis menjadi sebuah pemikiran filsafat mistis.

Tokoh lain yang memiliki kesamaan model pendekatan dalam pemikiran ketuhanan adalah Farid al-Din ‘Attar, ia menguraikan pemikiran ketuhanannya secara metaforis melalui sosok Si-murgh (tiga puluh burung) yang merindukan perjumpaan dengan raja burung (Simurgh). Dalam karyanya Manthiq al-Thayr diceritakan bahwa pada puncak pencariannya, para salik yaitu si-murgh (tiga puluh burung) mengalami penyingkapan, maka pada saat itulah mereka menyaksikan wajah Simurgh (raja burung), dengan rasa takjub yang luar biasa, mereka tidak bisa lagi membedakan apakah diri mereka masih si-murgh atau sudah menjadi Simurgh. Ternyata apa yang mereka saksikan tentang Simurgh tidak lain adalah gambaran diri mereka sendiri. Saat itulah Simurgh memberitahukan rahasianya, bahwa ia menyingkapkan dirinya dalam citra tiga puluh burung, seandainya yang datang melebihi jumlah yang ada maka sejumlah itu pula ia menampakkan diri. Gambaran tentang kerinduan si-murgh tidak lain merupakan personifikasi kerinduan manusia terhadap keindahan, “wajah” Tuhannya, maka tidak mengherankan jika Ibn ‘Arabi menumpahkan kerinduan dalam do’anya yaitu, “Wahai Tuhan tenggelamkan-lah daku dalam samudera ketunggalan-Mu yang tiada berhingga”.
Pada sudut pandangan yang berlawanan, pengalaman mistis, atau pengalaman batin dalam “penyaksian” tentang Tuhan, tidak kurang hebatnya dalam mengundang kontroversi, khususnya pemikiran Ibn ‘Arabi. Dalam hal ini Iqbal dengan sangat keras menentang pemikiran Ibn ‘Arabi, meskipun tidak menolak segala bentuk pengalaman batinnya. Kritik dari Iqbal ini berada pada tataran konseptual, yang menurutnya tidak ada Wahdah dan Katsrah, yang ada hanyalah Tauhid yang lawannya adalah Syirk.
Pandangan kritis Iqbal ini bisa dipahami sebagai pengaruh kuat sebelumnya, yaitu Ahmad Sirhindi yang juga menolak konsep Wihdat al-Wujud. Satu hal yang menjadi sorotan, ketika Iqbal dengan sangat keras mengkritik Ibn ‘Arabi, ia tidak pernah menyinggung Rumi, padahal menurut Nasr, karya Rumi Matsnawi dianggap sebagai Futuhat yang berbahasa Persia, dan Rumi sendiri tidak kurang dipengaruhi oleh pemikiran Ibn ‘Arabi melalui Shadr al-Din Qunyawi.
Penolakan terhadap pandangan ketuhanan Ibn ‘Arabi sebagaimana telah dikemukakan hanya pada tataran konseptual, karena bagi sebagian yang tidak setuju dengan pandangannya, menganggap bahwa ungkapan bahasa yang digunakan untuk menerjemahkan pengalaman batin seperti wahdah dan katsrah terlalu riskan.
Terlepas dari berbagai kontroversi, pemikiran filsafat mistis Ibn ‘Arabi merupakan sebuah hasil kreasi yang ingin memadukan pengalaman religius mistis dengan kemampuan nalar. Melalui daya nalar sebagian pengalaman batin itu bisa diartikulasikan, walaupun penuh dengan segala kerumitannya.

PENUTUP
Pemikiran Ibn ‘Arabi telah menyebar begitu luas melintasi batas-batas regional ataupun kontinental, jejak-jejak pemikirannya ada pada tiap-tiap generasi, bahkan pada saat ini pemikiran Ibn ‘Arabi diapresiasi secara luas di Barat, yaitu Amerika dan Eropa, sehingga memunculkan himpunan Ibn ‘Arabi Society, yaitu suatu himpunan yang bertujuan menyelenggarakan riset, seminar dan penerbitan mengenai sejarah dan pemikiran Ibn ‘Arabi, serta pengaruhnya dalam filsafat mistik.
Meluasnya pengaruh Ibn ‘Arabi pada zaman ini seiring dengan terjadinya degradasi dan dehidrasi spritual dalam alam modern. Manusia yang telah terlepas dari akar kediriannya ingin menemukan kembali roh kesadaran yang merupakan pancaran dari pusat lingkaran ketuhanan.
Kegelisahan tidak lain dari kerinduan yang tersumbat, saluran menuju Tuhan kembali menjadi pencarian, setiap hamba yang rindu ingin berkomunikasi dalam “bahasa” Tuhannya, yaitu komunikasi roh dengan pemilik roh.
Pada zaman ini dibutuhkan sebuah pemikiran yang bisa menghantarkan organisasi pada “kehadiran” Tuhan, oleh sebab itulah manusia pada zaman ini ingin melacak kembali berbagai pemikiran ketuhanan yang tidak hanya bersifat teologis transendental, tetapi juga yang bercorak mistis, di antaranya seperti pemikiran ketuhanan Ibn ‘Arabi. Baca Juga : Tuhan-dalam-konsep-wahdatul-wujud

Related Posts



Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?
Link

Komentar

SUARA KOTA PONTIANAK

ENTER YOUR EMAIL ADDRESS :

DELIVERED BY SUARA KOTA PONTIANAK ||| 🔔E-mail : ptmkspontianak@gmail.com

🚀POPULAR POST

SYAIKH SITI JENAR : AL-FATIHAH SALAH SATU KUNCI NGIBADAH

CARA MEMBANGKITKAN NUR QALBU MELALUI ZIKIR NAFI DAN ISBAT BAGI FOMULA TASYAWUF

TUHAN TIDAK BERZAT, BERSIFAT, BERASMA, DAN BERAF'AL.

PUSAKA MADINAH

AL HALLAJ IBLIS ADALAH TEMAN DAN FIRAUN ADALAH GURUNYA

🔂 FOLLOWERS