APA BENAR TUDINGAN SESAT PADA TASAWUF

suarakotapontianak.com- Apa benar pemikiran dan gerakan tasawuf bertentangan dengan al-Qur’an dan tuntunan Rasulullah Saw.?
Tema ini kerap benar dijadikan sasaran tembak oleh sekelompok muslim yang menempatkan dirinya sebagai ahlus sunnah yang paling murni, benar, dan sesuai tuntunan Rasul Saw.

Bidikan pertamanya ialah tidak adanya ajaran tasawuf dalam al-Qur’an dan hadits Nabi Saw.

Jika yang dimaksud “ajaran” ialah teks-teks naqli yang sharih dalam al-Qur’an dan hadits, memang benar klaim tersebut. Namun, sebelum keburu Anda terseret membenarkan tudingan sesat pada tasawuf, mari mengerti dulu hal-hal berikut:

Pertama, menganggap ajaran Islam yang baik dan benar hanyalah yang ada bunyi teksnya, literal (bayani), ini pandangan yang bermasalah. Kenapa? Sebab berisiko menjadikan Islam sedemikian sempit, terbatas, telah selesai di masa 16 abad silam saat diturunkan al-Qur’an dan lahirnya hadits-hadits Nabi Saw.

Jika yang dimaksud telah selesai ialah hal-hal yang berskala mahdhah, misal kaifiyat shalat, puasa, haji, dan sejenis, tentu semua muslim sepakat tanpa kecuali. Tetapi apakah Islam hanya berhenti di level rukun iman dan rukun Islam? Jelas tidak. Surat al-Ankabut ayat 43, misal, telah memberikan informasi yang mestinya mengundang refleksi, kreasi, bahkan jelajah imajinasi kita dalam maksud makin meluaskan, mengembangkan, mendalamkan, dan mematangnya pemikiran dan praktik keislaman kita. “Dan perumpamaan-perumpamaan ini kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.”

Apa yang bisa kita tangkap dari ayat yang mendorong kita untuk berilmu tersebut? Tidak lain ialah pendalaman dan penyelaman kognisi, pemikiran, yang tentu saja maksud dan tujuannya adalah makin mendekatkan kita kepada Allah Swt. Tidak ada lainnya.

Sampai di sini, terang betul bahwa klaim keharaman atau kesesatan paham tasawuf dikarenakan tidak adanya dalil sharih tentangnya merupakan pandangan yang bermasalah pada aras ‘orang-orang yang berilmu tersebut’.

Kedua, tudingan zindiq (orang yang melanggar syariat dengan mengada-adakan hal-hal yang tidak diterangkan secara tekstual oleh al-Qur’an dan Rasul Saw.) jelas tidak fair dan muskil dipertanggungjawabkan kebenarannya jika kita sepakat bahwa tujuan utama kita berpikir dan beramaliah (termasuk yang mengatasnamakan mengikuti al-Qur’an dan tuntunan Rasul Saw.) adaah untuk taqarrub ilallah.

Saya tunjukkan satu bukti saja, yakni ayat yang menunjuk pada pentingnya kita merenungkan fenomena-fenomena kauniyah dari Allah. Misal dalam surat al-Hadid ayat 1: “Semua yang berada di langit dan bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah)…” Ketika kita memandang langit di malam yang gerimis, umpama kita mampu meresapkan kemahakusaan Allah pada hati kita, iman kita, lalu menjelma kedalaman laku amaliah syariat kita, misal dzikir atau shalat, bukankah itu berguna sekali bagi taqarrub ilallah? Apakah memandang langit di kala hujan akan dipersoalkan otentisitasnya dan gunanya bagi kedalaman iman dan syariat kita hanya karena tidak diwajibkan sebagai ajaran oleh Rasulullah Saw?

Jelas hal sejenis adalah pola pikir yang bermasalah alias logical fallacy.

Tepat di koridor demikianlah klaim sesat, mengada-ada yang buruk (bid’ah sayyiah) kepada para salik, murid-murad, tarekat, dan mereka yang mendalami tasawuf tak memiliki bangunan berpikir yang otoritatif.

Sejarah telah menunjukkan pada kita bahwa awal lahirnya gerakan tasawuf di abad pertama dan kedua Hijriah (itu artinya di era tabi’in dan tabi’it tabi’in, serta sebagian kecil era sahabat) –dan kita tahu inilah era emas yang dipuji oleh Rasulullah Saw sendiri sebelum beliau mangkat—bukan karena persoalan politik-ideologis yang mengembuskan radikalisme ala Khawarij. Bukan. Justru sebaliknya, sejumlah muslim awal sengaja meninggalkan hiruk-pikuk perpolitikan dan ideologi faksional yang menguat di antara umat Islam dengan cara memfokuskan diri pada perkara-perkara ibadah.

Mereka adalah para ‘ubbad (ahli ibadah). Kemudian pilihan mereka manarik diri dari kecamuk politik yang meruncing menghantarkan mereka untuk menampilkan sikap-sikap wara’, ta’dhim, dan zuhud. Idetitas komunitas yang mereka bangun adalah dengan menggunakan baju wol yang kasar (suf). Dari sinilah identifikasi itu bermula, yakni sekelompok muslim yang memilih mendedikasikan diri dan aktivitasnya pada peribadatan kepada Allah dan menjauhi riuh-pikuk duniawi dengan kezuhudan yang direpresentasikan oleh wol yang kasar. Mereka lalu dikenal sebagai ahli tasawuf.

Baca Juga >  Khalifah Abal-abal dan Satu Kata Membid'ahkan Amaliah NU
Jadi, identifikasi kaum ini terbedakan dengan jelas dibanding kecenderungan umum muslimin masa itu –meski ini tidak lalu berarti bahwa di luar komunitas tasawuf ini adalah muslim-muslim yang bukan ahli ibadah dan tergila-gila pada urusan duniawi.

Jika karakter utama kaum tasawuf yang ‘ubbad dan zuhud ini dikorelasikan dengan perjalanan hidup Rasulullah Saw sendiri, di manakah letak kesalahannya, sesatnya, tidak sesuainya? Jelas tak bisa dibuktikan.

Semua kita mengerti dengan pasti betapa Rasulullah Saw adalah puncak dari teladan kekhusyukan dan keistikamahan ibadah kepada Allah. Sekalipun beliau dijamin ma’shum, kita tahu betapa beliau setiap hari tak kurang dari seratus kali membaca istighfar. Pun kita tahu dari sejarah betapa beliau sampai bengkak kakinya lantaran sangat banyak menunaikan shalat-shalat sunnah.

Ini perkara peribadatannya.

Lalu perkara tidak terikatnya hati Rasulullah Saw pada urusan-urusan meterial duniawi, dengan istilah kini adalah zuhud, ialah kita misalnya mengetahui dari catatan sejarah betapa Rasuluallah Saw mengikat perutnya dengan batu-batu demi menahan rasa laparnya dan betapa sering beliau terlihat memiliki bekas pelepah korma di pipinya karena tidak tidur di atas kasur empuk.

Kezuhudan (baca: kesederhanaan, kerendahan hati, dan kewara’an) inilah yang diteladani para ahli tasawuf sejak awal kelahirannya. Sosok-sosok awal ahli tasawuf macam Hasan al-Bashri dan Rabi’ah Adawiyah memperlihatkan dua karakter utama itu: ‘ubbad dan zuhud.

Begitupun kemudian kita tahu bagaimana sosok Imam Ghazali yang kondang betul dengan warisan Ihya’ Ulumuddin-nya meninggalkan keriuhan universitas yang dipimpinnya dan berlabuh kepada kezuhudan yang menakjubkan.

Semua sikap ‘ubbadh dan zuhud itu tak lain dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Apakah Anda masih memerlukan ayat-ayat yang sharih dalam al-Qur’an tentang perintah rajin dan khusyuk beribadah kepada Allah dan tidak mengikatkan hawa nafsu kepada materi-materi duniawi di sini?

Sangat bejibun ayat-ayat yang mendorong ke arah tersebut.

Imam Junaid al-Baghdadi, misal, memberikan nasihat kepada kita kini bahwa perjuangan mendekatkan diri kepada Allah melalui jalan tasawuf (beliau mengistilahkannya tauhid dan ‘arif) yang sungguh-sungguh hanya akan tercapai bila (1) kita mengerahkan seluruh jiwa dan raga untuk menjalankan syariat Allah. (2) menyerahkan segala apa yang kita ketahui, pahami, dan bahkan amalkan sebagai karunia Allah Swt. (3) Tidak menjadikan diri terikat kepada apa pun selain kepada Allah. Tidak ada yang datang selain dari Allah. Termasuk bahkan tauhid yang kita ketahui dan amalkan.

Ketika beliau ditanya apa itu tauhid, beliau menjawabnya dengan menukil ungkapan Abu Bakar Ash-Shiddiq: “Segala puji milik Allah yang telah memberikan kepada makhlukNya ketidakmampuan untuk mempelajari segala sesuatu tentangNya, kecuali melalui ketidakberdayaan mereka untuk meraih pengetahuan tentangNya.”

Bukankah ini sikap rendah hati yang luar biasa, tawadhu’, tawakal, dan la haula wala quwwata illa billah –yang jelas-jelas diajarkan oleh al-Qur’an dan dituntunkan oleh Rasulullah Saw.?

Terlihat benar kini bahwa akar penolakan –bahkan tudingan sesat—kepada pemikiran dan gerakan tasawuf sejatinya terlahir dari (1) kekakuan nalar yang terjebak oleh pemutlakan harus adanya dalil dan dalil pada seluruh lelampah hidup muslim, (2) cara berpikir yang sempit, saklek, dan dangkal terhadap ajaran Islam (baik teks al-Qur’an, hadits Nabi Saw., dan khazanah emas para salafus shalih), dan (2) lemahnya kreasi-kreasi ikhtiari yang pada hakikatnya sah-sah saja yang berniatan menggempalkan iman, Islam, dan ihasan kita kepada Allah Swt. Baca Juga : Jafar-bin-muhammad-bin-ali

Oleh: Edi AH Iyubenu, esais dan wakil ketua LTN PWNU DIY. 

Related Posts



Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?
Link

Komentar

SUARA KOTA PONTIANAK

ENTER YOUR EMAIL ADDRESS :

DELIVERED BY SUARA KOTA PONTIANAK ||| 🔔E-mail : ptmkspontianak@gmail.com

🚀POPULAR POST

SYAIKH SITI JENAR : AL-FATIHAH SALAH SATU KUNCI NGIBADAH

CARA MEMBANGKITKAN NUR QALBU MELALUI ZIKIR NAFI DAN ISBAT BAGI FOMULA TASYAWUF

TUHAN TIDAK BERZAT, BERSIFAT, BERASMA, DAN BERAF'AL.

PUSAKA MADINAH

AL HALLAJ IBLIS ADALAH TEMAN DAN FIRAUN ADALAH GURUNYA

🔂 FOLLOWERS