OPINI : KEADILAN RESTORATIF DALAM REGULASI DIGITAL

 Ilustrasi 

Jamal Wiwoho Rektor Universitas Sebelas Maret | Opini  

DI tengah pandemi covid-19, Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet) mengungkapkan ada penurunan kualitas demokrasi di Indonesia yang ditandai peningkatan kasus pemidanaan warganet terkait dengan aktivitas mereka di media sosial. 

Safenet menyebutkan, pada 2019 ada 24 kasus pelaporan aktivis, jurnalis, dan akademisi. Pada 2020, jumlahnya meningkat menjadi 59 kasus yang didominiasi pelaporan terhadap warga biasa pengunggah konten-konten soal covid-19, yang dinilai hoaks. Terlepas apakah hoaks itu akibat misinformasi (informasi salah dan tak akurat yang disebarkan, tetapi mereka tidak paham) atau akibat disinformasi (informasi yang sengaja disebarkan di media sosial dan pelaku penyebaran mengerti bahwa informasi itu tidak benar). 

Faktanya banyak ditemukan kasus terkait dengan UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), sepanjang 2020, ialah kasus misinformasi, khususnya informasi tak akurat tentang covid-19. Hal itu patut diperdebatkan karena covid-19 merupakan hal baru. 

Represi kebebasan berekspresi di internet seharusnya tidak perlu terjadi jika pemerintah melakukan pendekatan literasi dan edukasi kepada masyarakat. 

Kasus dr Lois Owien, tersangka dugaan penyebaran berita hoaks soal covid-19, dan terancam hukuman maksimal 10 tahun penjara, misalnya. Dr Lois yang mengklaim sebagai ahli interaksi obat menyatakan kasus korban kematian covid-19 sebenarnya diakibatkan pengaruh terapi obat yang tidak tepat yang diberikan kepada pasien. Kasus itu sebenarnya masih dapat diselesaikan dengan cara dialog atau sosialisasi melalui penerbitan artikel-artikel bantahan secara ilmiah sehingga masyarakat dapat ikut teredukasi. 

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyebutkan, pada kuartal II 2020, sebanyak 196,7 juta warga Indonesia (setara 73,7% dari populasi) menggunakan internet. Warganet menganggap bahwa internet merupakan sarana yang sangat dibutuhkan untuk mempercepat pembangunan, kemajuan pendidikan dan ilmu pengetahuan, serta mewujudkan HAM. Bahkan Navi Pillay (2012), seorang komisioner HAM PBB, mengungkapkan internet merupakan tren global terkuat. Oleh karena itu, internet memunculkan tantangan HAM yang rumit. 

Internet telah menghapuskan monopoli informasi karena sumbernya beragam, dapat menstimulasi pembentukan keputusan yang diketahui warga negara dan pejabat negara, serta dapat menekan transparansi dan akuntabilitas. 

Pada level internasional, pengakuan dan perlindungan HAM di dunia maya itu diwujudkan melalui Resolusi PBB No 20/8 Tahun 2012 mengenai Pemajuan, Perlindungan, dan Penikmatan HAM atas Internet. Resolusi itu menyatakan ekspresi yang disampaikan secara online memperoleh perlindungan yang sama dengan aktivitas ekspresi secara offline. 

Hak atas kebebasan berekspresi di level internasional juga diatur dalam UDHR dan ICCPR. Pasal 19 UDHR, Pasal 19 ayat (1) dan (2) ICCPR, dan Pasal 13 ayat (1) Konvensi tentang Hak-Hak Anak 1989 menjamin individu atas hak menyatakan pendapat dan bebas berekspresi tanpa gangguan. Pengakuan dan pengaturan terhadap kebebasan berekspresi melahirkan kebebasan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dengan cara apa pun sehingga hak atas kebebasan berekspresi melahirkan hak atas informasi. 

Pada 2016, Dewan HAM PBB juga menerbitkan resolusi tidak mengikat, yang berisi ‘kutukan’ kepada negara-negara yang secara sengaja mengganggu akses internet dan menegaskan bahwa gangguan terhadap akses internet merupakan pelanggaran HAM. 

Pada tataran hukum nasional, hak atas informasi merupakan hak yang diatur dalam UUD Negara RI Tahun 1945 Pasal 28F, yang menyatakan, 'Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi, dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia'. 

Amanah konstitusi itu kemudian diturunkan dalam aturan lebih rinci seperti UU 19/2016 tentang Perubahan UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.     

Keluasan makna 

Tahun ini, Amnesty International Indonesia mencatat setidaknya ada 15 kasus dan 18 korban UU ITE terkait dengan kebebasan berekspresi. Banyak warga saling melaporkan dengan menggunakan aturan hukum tersebut. Atas berbagai laporan sejumlah organisasi pemerhati HAM itu, pemerintah, terutama Presiden Jokowi, memberikan perhatian khusus kepada implementasi UU ITE. 

Menurut Presiden, ada proses hukum yang dinilai kurang memenuhi rasa keadilan, tetapi ada rujukan hukum di UU ITE. Amnesty International, ICJR, hingga LBH Pers pun menilai UU ITE mengandung banyak pasal karet karena tidak ada tolok ukur yang jelas. 

Pasal 27 ayat (3), misalnya, menyebutkan, 'Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik'. 

Pasal 28 ayat (2) berbunyi, 'Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi, yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan'. Pasal tersebut rentan digunakan sebagai alat represi untuk pengkritik dan bagi minoritas agama. Pengertian ‘golongan’ pun sangat luas, dari partai politik hingga ikatan profesi dokter. 

Perluasan makna itu dilegitimasi dalam Putusan MK No 76/PUU-XV/2017 yang pada pokoknya menyatakan antargolongan tidak hanya meliputi suku, agama, dan ras, tapi juga semua entitas yang tidak terwadahi oleh SARA. 

Selain perluasan makna, pasal pencemaran nama baik itu diletakkan sebagai delik formil sehingga akibat dari perbuatan itu tidak menjadi unsur yang harus dibuktikan. Pada praktik pengadilan, penegak hukum pun kerap menilai pencemaran nama baik secara beragam dan sering mengabaikan unsur tujuan, apakah yang membuat pernyataan atau tulisan itu bertujuan menghina dan mencemarkan nama baik. 

Presiden Jokowi menyadari, ada proses hukum yang kurang memenuhi rasa keadilan dalam implementasi UU yang seharusnya mempunyai semangat menjaga ruang digital di Indonesia agar bersih, sehat, beretika, dan dapat dimanfaatkan secara produktif itu. Presiden pun meminta kepolisian berhati-hati dalam memproses kasus dugaan pelanggaran UU ITE agar tidak menodai keadilan. 

Polri lalu menerbitkan Surat Edaran (SE) Kapolri No SE/2/11/2021 tentang Kesadaran Budaya, Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif. Polri menekankan pendekatan restorative justice (pemulihan keadilan), yaitu penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui proses mediasi.     

Restorative justice 

Konsep restorative justice ialah pendekatan yang lebih menitikberatkan pada terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korban. Pola tata cara dan pengadilan pidana yang fokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan penyelesaian yang lebih adil dan seimbang bagi korban dan pelaku. Proses pidana yang berakhir pada penjara dijadikan sebagai ultimum remidium. 

Pola restorative justice secara nilai falsafah sudah ada dalam Pancasila, khususnya sila ke-4. Bangsa ini mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama dan menghormati keputusan itu. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan YME, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan, serta mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama. 

Sebagai salah satu alternatif penyelesaian perkara, pendekatan restorative justice dalam kasus UU ITE bukan mencari siapa yang salah, melainkan menemukan win-win solution, terlebih di saat bangsa kita sedang berjuang keras menghadapi pandemi covid-19. Baca Juga : Empat-fakta-menarik-genose

Selanjutnya, untuk semakin menegaskan kepastian hukum, pasal-pasal yang didominasi ancaman pidana pada UU ITE perlu dikaji ulang dengan memasukkan mekanisme restorative justice agar tidak ada lagi ketakutan menyampaikan kritik kepada siapa pun selama tidak mengarah ke perpecahan bangsa.mediaindonesia.com

Related Posts



Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?
Link

Komentar

SUARA KOTA PONTIANAK

ENTER YOUR EMAIL ADDRESS :

DELIVERED BY SUARA KOTA PONTIANAK ||| 🔔E-mail : ptmkspontianak@gmail.com

🚀POPULAR POST

SYAIKH SITI JENAR : AL-FATIHAH SALAH SATU KUNCI NGIBADAH

CARA MEMBANGKITKAN NUR QALBU MELALUI ZIKIR NAFI DAN ISBAT BAGI FOMULA TASYAWUF

TUHAN TIDAK BERZAT, BERSIFAT, BERASMA, DAN BERAF'AL.

PUSAKA MADINAH

AL HALLAJ IBLIS ADALAH TEMAN DAN FIRAUN ADALAH GURUNYA

🔂 FOLLOWERS